Dwi Cheppy Dharmawan's

Ini adalah versus! Tentang 2 kelompok yang sangat berbeda pastinya. Gw rasa semua tau apa itu saracen dan harapannya kalian juga tau GNFI. Saracen menurut beberapa sumber merupakan suatu kelompok yang menerima pesanan pembuatan berita berunsur kebencian. Sementara GNFI itu singkatan dari Good News From Indonesia, sebuah kelompok yang berbagi aneka ragam berita baik tentang Indonesia. Berdasar penjelasan itu semua pasti paham kenapa disini kita sebut versus. Bener-bener beda banget kan mereka berdua.

Awal pendirian saracen karena mereka ga suka sama sekelompok orang dari vietnam yang menghina islam dan menyebarkan konten porno, bukankah niat awalnya bisa dibilang bagus ya? kenapa sekarang malah jadi penyebar kebencian? Meskipun kalau Ngutip salah satu media sih salah satu pengelola ngebantah tuduhan pengujar kebencian. Beberapa orang yang ditetapkan tersangka kalau dilihat dari pendidikan formalnya bisa dikatakan ya lumayan, sebab ada salah satu diantaranya yang sudah S1, sementara 2 lainnya tidak disebutkan. Inilah yang sering disebut 'pinter keblenger'.

Selanjutnya coba kita ngulik soal GNFI. Pendiri dan penggagasnya punya panggilan akrab Ari. Waktu menggagas GNFI beliau punya latar belakang pendidikan S1. Berawal dari keprihatinan tentang banyaknya berita negatif tentang Indonesia maka dia coba nulisin berita-berita positif tentang Indonesia. Itulah yang disebut melawan keburukan dengan kebaikan.

Dua karya diatas bisa jadi bukti bahwa pendidikan formal bukan menjadi jaminan utama bagaimana seseorang bersikap bijak. Dibalik pendidikan formal yang baik juga harus ada kecerdasan emosi sebagai penjamin semua berjalan lebih baik. Menurut Mayer dan Solovey (Goleman, 1999; Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan. Sudah jelas kan bahwa kecerdasan emosi itu yang menjadi penentu dalam menyikapi sebuah peristiwa dengan memanfaatkan pendidikan formalnya.

Kedua karya itu lahir dari kejadian yang bisa dibilang mirip, yaitu rasa kecewa. Namun cara menyikapinnya jelas berbeda. Ari sebagai pendiri GNFI memilih menghadapi rasa kecewanya dengan menciptakan hal-hal positif, sehingga dengan sendirinya hal positif akan lebih terasa daripada negatif. Pada sisi sebaliknya saracen tercipta dengan melakukan perlawanan terhadap pihak yang mengecewakannya dengan 'merampas'. Cara menyikapi permasalah itu bisa menjadi indikator seberapa baik kecerdasan emosional yang dimiliki oleh orang-orang dibalik kedua kelompok tersebut.

Dari kasus diatas bisa kita jadikan bukti nyata seberapa pentingnya kecerdasan emosional seseorang. Semakin baik yang dimilikinya maka mampu melahirkan perilaku yang baik, jadi jangan lagi kita sebatas bergantung pada pendidikan formal saja yang cenderung mengasah kecerdasan intelegensi.

Hollingworth dilahirkan pada 26 May 1880 di De Witt, Nebraska. Pada tahun 1896 dia berhasil lulus dari DeWitt High Scchool. Meskipun berhasil lulus dari sekolah pada usia 16 tahun dia baru bisa melanjutkan kuliah di usia 23 tahun karena keterbatasan biaya. Selama periode itu dia menjalankan berbagai pekerjaan untuk mengumpulkan dana kuliahnya. Gelar sarjana Hollingworth diraih dari Universitas Nebraska tahun 1906.

3 tahun setelah lulus dari Universitas Nebraska dia berhasil meraih gelar doctoral dari Universitas Columbia dengan desertasinya mengenai accuracy of reaching (akurasi pencapaian). Sekitar tahun 1909-1910 Hollingworth menikah dengan Letta Setter, seorang wanita yang juga tertarik akan bidang psikologi. Hollingworth merupakan murid dari James McKeen Cattell dan juga pernah bekerja menjadi asistennya di Columbia University.

Kehidupan finansial Hollingworth tidak terlalu baik, dia melakukan berbagai pekerjaan ekstra selain pengajar di Benard College sejauh kemampuannya, termasuk menyiapkan ujian dan pengajar di New York Men’s Advertising League on the Psychology of advertising. Pada tahun 1911 Hollingworth menerima pekerjaan yang sangat membantunya dalam finansial dan membuat istrinya bisa melanjutkan pendidikan, yaitu penelitian terkenalnya terkait kasus yang dialami coca cola.

Selama perang dunia pertama Hollingworth diminta untuk mengadministrasikan pelayana psikologi terhadap tentara yang pulang dari perang. Berdasarkan observasinya, Hollingworth mengembangkan teori tentang fungsional neurosis yang di publikasikan pada tahun 1920 sebagai buku psikologi klinis pertama.

Pada tahun 1927 Hollingworth terpilih menjadi presiden APA (American Psychological Association). Tahun-tahun berikutnya holingworth tetap produktif sebagai penulis dengan  menerbitkan buku diantara tahun 1926 dan 1935. Namun sayang biografi yang ditulisnya pada tahun 1940 tidak terpublikasikan. Pada akhir 1930an dia kembali melakukan penelitian terapan untuk membantu temannya yang membahas tentang alasan mengapa seseorang mengunyah permen karet.

Hollingworth menghabiskan karirnya dalam penelitian terapan yang dalam bahasa lain disebut dengan psikologi bisnis dan saat ini dikenal dengan psikologi industrial. Meskipun dia pionir dalam bidang industri dan psikologi terapan, Hollingworth tidak memiliki minat khusus terkait penelitian bidang ini. Sepertinya Hollingworth banyak mengabdikan diri pada perusahaan dan menjalakan bidang ini karena menguntungkan secara finansial dalam berjuang untuk hidup

Hollingworth tertarik pada penerapan pertumbuhan mental dan penolakan, psikologi pikiran, dan juga membahas prinsip urutan reintegratif yang melibatkan peristiwa esensial objektif dan subjektif dari esensi.

Karya yang terpublikasi
  • Psychology: Its Facts and Principles
  • Mental Growth and Decline
  • The Psychology of Thought
  • Judging Human Character
  • The Psychology of Functional Neuroses
  • Advertising and Selling; Principles of Appeal and Response
  • Vocational Psychology

Refrensi


 Benjamin, L. T. (1996). Harry Hollingworth: Portrait of a generalist. In G. A. Kimble, C. A. Boneau, & M. Wertheimer (Eds.) Portraits of pioneers in psychology (Vol. 2, pp.191-135). Washington, DC: American Psychological Association

Benjamin, L. T., Rogers, A. M., & Rosenbaum, A. (1991). Coca-Cola, caffeine, and mental deficiency: Harry Hollingworth and the Chattanooga trial of 1911. Journal of the History of the Behavioral Sciences, 27, 42-55.

Applied Psychology: The Legacy of Functionalism. (2008). In D. P. Schultz & S. E. Schultz (Authors), A history of modern psychology (9th ed., pp. 220-221). Australia: Thomson/Wadsworth.


6.      http://nebraskahistory.org/lib-arch/research/manuscripts/family/harry-hollingworth.htm



Dunia maya Indonesia beberapa minggu terakhir diramaikan oleh seorang remaja yang konon memiliki pemikiran kritis. Remaja tersebut mengkritisi kondisi bangsa ini dengan tulisan yang luar biasa untuk usia seumurannya. Bahkan dia sempat diundang oleh presiden kita ke Istana dan menjadi bintang tamu salah satu acara talkshow di televise. Namun pemikiran kritis bukan hanya milik remaja itu, netizen ternyata lebih kritis dengan menemukan data bahwa sebenarnya apa yang ditulis remaja itu hanyalah ‘copy’, ganti sedikit kata dan ‘paste’ atas namanya.

Setelah ramai pemberitaan tentang ditemukan data bahwa dia melakukan hal tersebut, akhirnya remaja itu meminta maaf atas perbuatannya. Namun sayang, dia hanya mengakui sedikit kesalahannya. Dia mengaku hanya ada 1 tulisan saja padahal netizen berhasil menemukan bukti untuk tulisan lainnya.

Apa kamu malu ngaku mengutip?

Mengutip, sepertinya masih dianggap sebagi hal yang memalukan. Masih ada orang-orang yang sungkan untuk mengaku mengutip dalam karyanya. Alasannya beraneka ragam, mulai sekedar malas, gak tau sampai parahnya gengsi.  Alasan malas ini sebenernya erat banget sebenernya sama gak tau. Gak tau itu sumber aslinya dari mana terus males juga buat nyari taunya karena ga ngerasa itu penting. Kemudian kebangetannya lagi kalau alesannya gengsi. Alasan ini kebangetan karena bisa dibilang motif dia kaya gitu cuma pengen dianggap hebat. Padahal ketika dia menuliskan suatu tulisan atau karya yang berkualitas bersumber dari kutipan orang lain, maka orang juga bisa menilai dirinya memiliki selera yang bagus dan bisa menghargai karya orang lain.

Mengutip itu soal menghargai, menghargai karya intelektualitas seseorang. Suatu hal yang sangat mahal nilainya. Kenapa mahal? Karena proses penciptaanya tidaklah mudah. Mungkin kita bisa hanya mengambil semua kalimat dari tulisan seseorang disebuah artikel tapi proses lahirkan kalimat tersebut kita gak tau seberapa sulit. Pada sebuah karya puisi atau lagu misalnya, kita ga tau proses pendalaman suasana yang seperti apa sehingga bisa melahirkan kalimat itu. Sementara itu pada karya ilmiah kita gak tau kan berapa banyak buku atau sumber refrensi yang dia pelajari untuk bisa menyimpulkannya dalam sebuah kalimat. Saat kita mengutip kalimat tersebut berarti kita sudah menghargai usaha orang lain.

Gw jadi teringat pesan seorang dosen waktu kuliah. Pas semester-semester awal gw sering sekali mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang sebenernya bersumber dari buku tanpa menyebutkan itu buku siapa atau pendapat siapa. Kemudian sekitar semester 3 gw mendapat teguran dari seorang dosen, setelah gw berpendapat dalam diskusi beliau berkata “pendapat kamu bisa saya terima kebenarannya kalau kamu bisa menyebutkan refrensinya”. Berhubung ingatan gw tidak terlalu bagus dan terbiasa untuk mengingat sumber pendapat maka gw gak bisa menyebutkannya. Lantas dosen gw sedikit tersenyum dan berkata “Selama ini pendapat kamu itu banyak yang benar dan memang ada dalam buku tapi jarang sekali kamu menghargai itu, kamu seharusnya hargai orang yang mengatakan atau menuliskan itu dengan menyebutkan namanya”. Beliau memberikan perumpamaan yang cukup telak “Coba kalau suatu saat kamu pernah nulis artikel bagus, terus temen kamu pake kalimat dari artikel kamu tanpa bilang itu pemikiran kamu terus setelah itu dia jadi terkenal karena kalimat itu, apa rasanya?”. Sebagian mungkin biasa saja, tapi selebihnya kan juga bisa kecewa dan sakit hati. Gak ada salahnya kan kita mencegah orang lain kecewa.

Secara ilmiah menyebutkan sumber kutipan menjadi hal yang sakral dan wajib. Pendapat seseorang bisa saja dipertanyakan jika orang tersebut dinilai tidak memiliki kompetensi yang sesuai. Misalnya seorang arsitek yang menjelaskan pengaruh kesehatan pada desain bangunan yang dirancangnya. Orang berhak saja tidak mempercayai penjelasan terkait kesehatan saat arsitek itu tidak menyebutkan dari mana sumber pendapatnya tersebut. Selanjutnya dengan mengutip juga kita jadi punya data untuk memperkuat argument tanpa perlu melakukan penggalian data. Kembali pada konteks arsitek tadi, dia cukup dengan mengatakan menurut siap berdasarkan penelitianya, maka dia gak perlu penelitian dulu supaya orang bisa percaya dan sebagai pembuktiannya.
Previous PostPostingan Lama Beranda