Dwi Cheppy Dharmawan's

Kertas Putih John Locke

1 comment

John Locke // Sumber: https://fineartamerica.com/featured/2-john-locke-english-philosopher-father-science-source.html
Pernah mendengar pernyataan “manusia itu beda-beda” ? Menurut keilmuan itu hal yang tepat. Tidak ada satupun manusia di bumi ini yang sama, baik dari fisik ataupun psikisnya. Manusia yang terlahir kembar juga pasti akan memiliki perbedaan. Jadi,  apa sebenarnya yang membedakan manusia ? Salah satu filsuf yang membahas soal ini adalah John Locke.

John Locke dilahirkan pada 29 Agustus 1632 di Wrington Somerst. Seorang filsuf asal inggris ini terkenal dengan teorinya yang bernama Tabularasa. Tabularasa adalah suatu teori yang mengatakan bahwa seorang manusia terlahir sebagai kertas yang putih bersih. Menurut pemahaman tersebut semua pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil dari pengalaman inderawi.

Pengalaman inderawi meliputi penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan. Setiap individu mempunyai pengalaman inderawi maka kertas putih bersih tersebut seperti mendapat suatu perlakuan. Contohnya saat seorang anak mendengar sebuah nama disebut berulang kali yang ternyata itu adalah namanya, maka kertas putih bisa diumpamakan sedang dituliskan ‘nama saya…”. Istilah tersebut bisa dinamakan sebagai sebuah ide simpel.  Selanjutnya ide simpel tersebut akan terus berkembang menjadi ide majemuk dan akhirnya terbentuk ide kompleks.

Perbedaan pengalaman inderawi seperti contoh diatas yang akan membentuk perbedaan antar individu. Mungkin pada masa awal kehidupan akan memiliki pengalaman yang sama, maka dari itu anak kecil akan memiliki kesamaan yang cenderung lebih banyak satu sama lain. Semakin bertumbuhnya seorang manusia maka pengalaman inderawi yang dialami akan berbeda, maka perlakuan pada kertas putih itu juga akan berbeda. Perbedaan setiap perlakuan pada kertas putih tersebut yang akhirnya membentuk perilaku berbeda manusia.

Perumpamaan lebih lanjut yang bisa dipahami yaitu dalam hal pembelajaran. Pembelajaran hal hal dasar yang dilakukan diusia dini akan lebih gampang diterima oleh individu, karena kertas masih memiliki ruang yang cukup. Ketika dewasa kertas sudah cukup terisi sehingga perlu usaha lebih. Sebagai contoh saat individu masih kecil sudah diajari dasar tentang agama maka ketika beranjak remaja individu tersebut akan lebih mudah menerapkan ajaran agama yang diajarkan sewaktu kecil. Jika dianalogikan pada kertas, saat kecil seperti dibuatkan sebuah pola terlebih dahulu dan semakin dewasa pola tersebut akan dibuat menjadi sebuah gambar yang kompleks. Bayangkan saja jika sudah dewasa ingin membuat gambar yang kompleks pada kertas tapi belum memiliki pola maka diperlukan usaha lebih.

Kertas putih yang selalu diberikan sebuah catatan baik atau perlakuan baik maka kualitas kertas tersebut akan baik pastinya. Jika kertas dirawat baik, digambarkan dengan lukisan yang indah maka akan memiliki harga yang tinggi pastinya. Manusia yang dikatakan terlahir sebagai kertas putih bersih juga akan begitu. Semakin banyak perlakuan baik (pengalaman inderawi) maka kualitas perilakunya cenderung lebih baik.

Berdasarkan pemahaman mengenai tabularasa kita bisa mulai belajar mengapa manusia itu beragam jenisnya, baik sifat maupun perilakunya. Kemudian mulai mengerti apa yang membuatnya bisa seperti itu dan kita semakin sadar bahwa semua manusia itu bisa menjadi manusia yang baik. Pelajaran terpenting saat sudah tau keberagaman maka sudah saatnya mulai menerima keberagamaan tersebut.

sumber: Naisaban, Ladislaus (2004). Para Psikolog Terkemuka Dunia. Jakarta; PT Gramedia Widiasarana Indonesia
               Schultz, Duane P. & Sydney Ellen Schultz (2014). Sejarah Psikologi Modern. Bandung; Nusa Media
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar: