Dwi Cheppy Dharmawan's

Hollingworth dilahirkan pada 26 May 1880 di De Witt, Nebraska. Pada tahun 1896 dia berhasil lulus dari DeWitt High Scchool. Meskipun berhasil lulus dari sekolah pada usia 16 tahun dia baru bisa melanjutkan kuliah di usia 23 tahun karena keterbatasan biaya. Selama periode itu dia menjalankan berbagai pekerjaan untuk mengumpulkan dana kuliahnya. Gelar sarjana Hollingworth diraih dari Universitas Nebraska tahun 1906.

3 tahun setelah lulus dari Universitas Nebraska dia berhasil meraih gelar doctoral dari Universitas Columbia dengan desertasinya mengenai accuracy of reaching (akurasi pencapaian). Sekitar tahun 1909-1910 Hollingworth menikah dengan Letta Setter, seorang wanita yang juga tertarik akan bidang psikologi. Hollingworth merupakan murid dari James McKeen Cattell dan juga pernah bekerja menjadi asistennya di Columbia University.

Kehidupan finansial Hollingworth tidak terlalu baik, dia melakukan berbagai pekerjaan ekstra selain pengajar di Benard College sejauh kemampuannya, termasuk menyiapkan ujian dan pengajar di New York Men’s Advertising League on the Psychology of advertising. Pada tahun 1911 Hollingworth menerima pekerjaan yang sangat membantunya dalam finansial dan membuat istrinya bisa melanjutkan pendidikan, yaitu penelitian terkenalnya terkait kasus yang dialami coca cola.

Selama perang dunia pertama Hollingworth diminta untuk mengadministrasikan pelayana psikologi terhadap tentara yang pulang dari perang. Berdasarkan observasinya, Hollingworth mengembangkan teori tentang fungsional neurosis yang di publikasikan pada tahun 1920 sebagai buku psikologi klinis pertama.

Pada tahun 1927 Hollingworth terpilih menjadi presiden APA (American Psychological Association). Tahun-tahun berikutnya holingworth tetap produktif sebagai penulis dengan  menerbitkan buku diantara tahun 1926 dan 1935. Namun sayang biografi yang ditulisnya pada tahun 1940 tidak terpublikasikan. Pada akhir 1930an dia kembali melakukan penelitian terapan untuk membantu temannya yang membahas tentang alasan mengapa seseorang mengunyah permen karet.

Hollingworth menghabiskan karirnya dalam penelitian terapan yang dalam bahasa lain disebut dengan psikologi bisnis dan saat ini dikenal dengan psikologi industrial. Meskipun dia pionir dalam bidang industri dan psikologi terapan, Hollingworth tidak memiliki minat khusus terkait penelitian bidang ini. Sepertinya Hollingworth banyak mengabdikan diri pada perusahaan dan menjalakan bidang ini karena menguntungkan secara finansial dalam berjuang untuk hidup

Hollingworth tertarik pada penerapan pertumbuhan mental dan penolakan, psikologi pikiran, dan juga membahas prinsip urutan reintegratif yang melibatkan peristiwa esensial objektif dan subjektif dari esensi.

Karya yang terpublikasi
  • Psychology: Its Facts and Principles
  • Mental Growth and Decline
  • The Psychology of Thought
  • Judging Human Character
  • The Psychology of Functional Neuroses
  • Advertising and Selling; Principles of Appeal and Response
  • Vocational Psychology

Refrensi


 Benjamin, L. T. (1996). Harry Hollingworth: Portrait of a generalist. In G. A. Kimble, C. A. Boneau, & M. Wertheimer (Eds.) Portraits of pioneers in psychology (Vol. 2, pp.191-135). Washington, DC: American Psychological Association

Benjamin, L. T., Rogers, A. M., & Rosenbaum, A. (1991). Coca-Cola, caffeine, and mental deficiency: Harry Hollingworth and the Chattanooga trial of 1911. Journal of the History of the Behavioral Sciences, 27, 42-55.

Applied Psychology: The Legacy of Functionalism. (2008). In D. P. Schultz & S. E. Schultz (Authors), A history of modern psychology (9th ed., pp. 220-221). Australia: Thomson/Wadsworth.


6.      http://nebraskahistory.org/lib-arch/research/manuscripts/family/harry-hollingworth.htm



Dunia maya Indonesia beberapa minggu terakhir diramaikan oleh seorang remaja yang konon memiliki pemikiran kritis. Remaja tersebut mengkritisi kondisi bangsa ini dengan tulisan yang luar biasa untuk usia seumurannya. Bahkan dia sempat diundang oleh presiden kita ke Istana dan menjadi bintang tamu salah satu acara talkshow di televise. Namun pemikiran kritis bukan hanya milik remaja itu, netizen ternyata lebih kritis dengan menemukan data bahwa sebenarnya apa yang ditulis remaja itu hanyalah ‘copy’, ganti sedikit kata dan ‘paste’ atas namanya.

Setelah ramai pemberitaan tentang ditemukan data bahwa dia melakukan hal tersebut, akhirnya remaja itu meminta maaf atas perbuatannya. Namun sayang, dia hanya mengakui sedikit kesalahannya. Dia mengaku hanya ada 1 tulisan saja padahal netizen berhasil menemukan bukti untuk tulisan lainnya.

Apa kamu malu ngaku mengutip?

Mengutip, sepertinya masih dianggap sebagi hal yang memalukan. Masih ada orang-orang yang sungkan untuk mengaku mengutip dalam karyanya. Alasannya beraneka ragam, mulai sekedar malas, gak tau sampai parahnya gengsi.  Alasan malas ini sebenernya erat banget sebenernya sama gak tau. Gak tau itu sumber aslinya dari mana terus males juga buat nyari taunya karena ga ngerasa itu penting. Kemudian kebangetannya lagi kalau alesannya gengsi. Alasan ini kebangetan karena bisa dibilang motif dia kaya gitu cuma pengen dianggap hebat. Padahal ketika dia menuliskan suatu tulisan atau karya yang berkualitas bersumber dari kutipan orang lain, maka orang juga bisa menilai dirinya memiliki selera yang bagus dan bisa menghargai karya orang lain.

Mengutip itu soal menghargai, menghargai karya intelektualitas seseorang. Suatu hal yang sangat mahal nilainya. Kenapa mahal? Karena proses penciptaanya tidaklah mudah. Mungkin kita bisa hanya mengambil semua kalimat dari tulisan seseorang disebuah artikel tapi proses lahirkan kalimat tersebut kita gak tau seberapa sulit. Pada sebuah karya puisi atau lagu misalnya, kita ga tau proses pendalaman suasana yang seperti apa sehingga bisa melahirkan kalimat itu. Sementara itu pada karya ilmiah kita gak tau kan berapa banyak buku atau sumber refrensi yang dia pelajari untuk bisa menyimpulkannya dalam sebuah kalimat. Saat kita mengutip kalimat tersebut berarti kita sudah menghargai usaha orang lain.

Gw jadi teringat pesan seorang dosen waktu kuliah. Pas semester-semester awal gw sering sekali mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang sebenernya bersumber dari buku tanpa menyebutkan itu buku siapa atau pendapat siapa. Kemudian sekitar semester 3 gw mendapat teguran dari seorang dosen, setelah gw berpendapat dalam diskusi beliau berkata “pendapat kamu bisa saya terima kebenarannya kalau kamu bisa menyebutkan refrensinya”. Berhubung ingatan gw tidak terlalu bagus dan terbiasa untuk mengingat sumber pendapat maka gw gak bisa menyebutkannya. Lantas dosen gw sedikit tersenyum dan berkata “Selama ini pendapat kamu itu banyak yang benar dan memang ada dalam buku tapi jarang sekali kamu menghargai itu, kamu seharusnya hargai orang yang mengatakan atau menuliskan itu dengan menyebutkan namanya”. Beliau memberikan perumpamaan yang cukup telak “Coba kalau suatu saat kamu pernah nulis artikel bagus, terus temen kamu pake kalimat dari artikel kamu tanpa bilang itu pemikiran kamu terus setelah itu dia jadi terkenal karena kalimat itu, apa rasanya?”. Sebagian mungkin biasa saja, tapi selebihnya kan juga bisa kecewa dan sakit hati. Gak ada salahnya kan kita mencegah orang lain kecewa.

Secara ilmiah menyebutkan sumber kutipan menjadi hal yang sakral dan wajib. Pendapat seseorang bisa saja dipertanyakan jika orang tersebut dinilai tidak memiliki kompetensi yang sesuai. Misalnya seorang arsitek yang menjelaskan pengaruh kesehatan pada desain bangunan yang dirancangnya. Orang berhak saja tidak mempercayai penjelasan terkait kesehatan saat arsitek itu tidak menyebutkan dari mana sumber pendapatnya tersebut. Selanjutnya dengan mengutip juga kita jadi punya data untuk memperkuat argument tanpa perlu melakukan penggalian data. Kembali pada konteks arsitek tadi, dia cukup dengan mengatakan menurut siap berdasarkan penelitianya, maka dia gak perlu penelitian dulu supaya orang bisa percaya dan sebagai pembuktiannya.
Apa yang biasanya kamu rencanain kalau weekend dibulan puasa? Buka bersama kah? Istirahat aja lah seharian? Atau justru jalan-jalan ke mall? Pernah gak punya rencana manfaatin weekend buat coba ngenalin adek kamu atau anak kecil untuk kenal sama masjid? Kalau belum coba deh direncanain buat weekend berikutnya.

Weekend itu bisa jadi waktu yang tepat banget buat ngenalin masjid ke anak-anak apalagi buat anak kecil yang jarang banget ke masjid karena alasan ga ada barengannya yang bisa jagain. Sebab pas weekend kita punya tenaga dan waktu yang lebih banyak pastinya karena kalau hari biasa kan udah capek sama sekolah, kuliah atau kerja. Nah kalau weekend kan ga sebanyak itu kegiatannya bahkan bisa ditentuin sendiri mau ngapain.

Kegiatan ngenalin masjid pas weekend ini juga bisa diatur kok supaya ga ganggu rencana lain kaya belanja atau buka puasa bersama. Caranya coba aja bikin acara buka bersamanya tuh kumpul lebih awal supaya kegiatan ngobrol-ngobrolnya bisa sebelum buka, jadi setelah buka puasa bersama bisa segera pulang buat ikut tarawih dimasjid sambil ngajak anak kecil. Kalau ga bisa bikin buka puasa bersamanya lebih awal, yaudah dicoba ajaknya pas sholat subuh aja. Hari biasa mungkin alesan ga bsa sholat subuh di masjid karena harus siap-siap kerja atau kuliah tapi kalau weekend? Ngantuk mah bisa lah ditahan dikit paling selisih beberapa menit dibanding solat dirumah, kan abis itu bisa tidur karena ga harus kerja. Nah kan selalu ada cara kok untuk niat baik

Tujuan ngenalin masjid ke anak kecil ini simple aja kok, supaya masjid gak sepi sepi banget pas waktu sholat wajib. Terkadang kita emang ngerasa keganggu kalau banyak anak kecil pas solat karena lari sana sini, bercanda sampe ga jarang teriak-teriak. Tapi kalau kita ga ngenalin masjid sejak awal mau kapan mereka mulai kenalnya? Ingat pengenalan apapun sejak dini pasti lebih mudah tertanam dalam diri seseorang. Terus ga bosen liat masjid isinya kebanyakan orang tua?
Sore abis ashar dibulan ramadhan tuh enak banget berburu takjil atau sekedar ngabuburit. Biasanya setiap orang udah punya inceran sendiri nih mau beli apa dan dimana. Kebiasaan ini bisa jadi perbuatan baik ataupun buruk . Perbuatan buruknya karena kita terlalu berlebihan beli ini itu padahal belum tentu abis nanti pas buka. Perbuatan baikanya kita bisa jadi menolong kehidupan penjual loh.

Kita pasti pernah denger ucapan ‘tempat yang enak itu biasanya rame, kalau sepi kurang enak’. Ucapan itu memang terkadang ada benarnya juga, itu juga yang sering bikin suatu tempat kalau rame ya kebanget dan buat yang sepi yaudah gitu aja. Terus apa yang kalian pikirin atau rasain pas ngeliatnya?  Pasti langsung terbesit pikiran kalau tempat itu gak enak dan hal negatif lainnya. Tapi pernah juga gak kalian ngerasa sedih pas liat itu? Kalau belum coba deh pikirin kalian yang ada di posisi itu biar sedikit terbayang rasanya. Kalau udah mulai sedikit aja ngerasain ga enaknya kaya gitu berarti mulai lah bantu  kurangin rasa itu buat orang lain, toh kita juga kan gamau ngerasain itu berarti orang lain juga dong.

Ngebantu orang lain dalam kasus ini sederhana kok, kalian bisa lakuin cuma dengan beli barang yang mereka jual. Meskipun emang kita punya resiko juga buat dapet barang yang gak sesuai harapan (misal kemahalan atau ga enak)  tapi kalau memang ada niat ikhlas untuk ngebantu, InsyaAllah gak akan terlalu buruk. Dengan ngebantu beli apa yang mereka jual kita berarti juga udah ngebantu nambah keyakinan mereka untuk tetap mencari pemasukan dengan usaha bukan sekedar minta-minta.
Selain ngebantu usaha mereka dan ngurangin rasa sedih, kita bisa juga jadi penolong yang ga pernah dbayangkan oleh dia. Mungkin sekitarnya tau kalau apa yang dia jual kurang enak atau harganya kurang wajar makanya tempat itu sepi. Nah kita yang gak tau apa-apa akhirnya dateng buat beli karena niat bantu ataupun emang pengen coba aja. Disitulah kita bakal dianggap dia penolong yang tak terduga.  

Itu mungkin masalah yang dialami oleh para penjual. Tapi konteks pertolongannya bisa kita bayangkan terjadi dalam kehidupan kita juga loh. Setiap orang pasti kan punya permsalahan masing-masing yang membutuhkan pertolongan melalui manusia. Misalnya saat lagi ada masalah dan butuh pertolongan sekitar kita tuh udah tau soal segala keburukan kita jadi bikin mereka males buat bantu. Akhirnya ada orang yang gak terlalu kenal bahkan gak kenal kita sama sekali dateng buat bantu, apa yang dirasain? Begitulah yang bisa jadi dirasain sama para penjual yang sepi tadi. Ingat aja pepatah yang mengatakan setiap kebaikan pasti akan menghasilkan kebaikan lainnya
Seorang filsuf terkemuka berkebangsaan Inggirs yang bernama John Locke sangat terkenal dengan suatu pemikirannya. Pemikiran tersebut dikenal dengan istilah tabularasa. Suatu pemikiran yang berpendapat bahwa setiap manusia dilahirkan seperti kertas putih bersih. Menurutnya semua manusia dilahirkan dengan keadaan yang sama. Semua akan menjadi berbeda setelah pengalaman inderawi yang dialami semasa hidup.

Pemikirain tersebut menjadi salah satu yang berkesan dari banyaknya pemikiran filsuf yang pernah dipelajarin. Apalagi sewaktu kuliah ada penjelasan lebih detail, mendalam dan makna lanjutan dari dosen. Diantara semua penjelasannya yang paling berkesan itu pas ngebahas soal karakteristik dari kertas setiap manusia itu berbeda. Kalau gak salah begini katanya “Saya tertarik pendapat John Locke soal tabularasa, semua manusia terlahir seperti selembar kertas putih, tapi ada yang lain membedakannya yaitu seperti apa karakteristik kertas putih itu”. Beliau melanjutkan dengan menjelaskan apa maksud dari karakteristik kertasnya.

Karakter dari kertas itu selanjutnya dijelaskan lebih detail. Salah satu karakter yang gampang dibedain untuk ngambil contoh itu ketebalannya. Ada kertas yang tebalnya sekitar 60-80 gram, kurang dari itu dan lebih dari itu juga. Kertas 60-80 gram biasa digunakan untuk ngeprint, seni melipat kertas atau menulis. Kertas yang jauh kurang dari itu biasa juga kita sebut tisu, bisa digunakan untuk mengelap keringat, air mata, atau darah. Selanjutnya kertas yang lebih tebal atau biasa disebut kertas karton bisa kita gunakan sebagai wadah atau pembungkus suatu benda.

Bayangkan saja kalau kegunaan dari setiap karakteristik tadi sedikit kita tukar. Kertas tisu digunakan untuk ngeprint, hasilnya pasti kurang jelas. Kertas 60-80 gram digunakan untuk menjadi wadah, maka hanya mampu menahan beban yang tidak terlalu berat. Selanjutnya kertas yang tebal digunakan untuk mengelap keringat, apa itu enak?. Jelas banget kan setiap karakter kertas punya kegunaan yang berbeda.

Perumpamaan yang dijelasin diatas kayanya udah jelas banget kalau diterapin dalam konteks manusia. Setiap manusia sejak lahir akan memiliki kesamaan yaitu hati dan pikiran yang masih kosong seperti kertas putih. Dibalik kesamaan itu tetap selalu ada yang berbeda seperti karakteristik kertas yang sudah dijelaskan, salah satunya bisa dikatakan fisik. Tidak ada fisik yang sama pada setiap manusia. Diluar keterbatasan seperti kekurangan bagian organ tubuh tetap ada yang berbeda seperti sidik jari.

Semua persamaan dan perbedaan itu akan selalu bisa menjadikan manusia bermanfaat bahkan sejak dilahirkan. Tugas yang perlu dilakukan oleh kita adalah mencari bagaimana bisa bermanfaat secara maksimal seperti kertas HVS, karton ataupun tisu. Tidak bermanfaat itu hanyalah sebuah posisi yang kurang pas.
 Ada jutaan cerita soal skripsi, padahal cuma ada 3 unsur yang bikin cerita itu, yaitu dosen, diri sendiri dan faktor x. Peran  3 Unsur tersebut yang mempengaruhi cerita sebuah skripsi. Cepat atau lambat, senang atau sedih, bahkan sampe gagal atau berhasil, semua ya cuma karena 3 unsur itu… Begini nih penjelasannya

Dosen,  jadi unsur yang paling banyak banget jadi peran utama dalam cerita tentang skripsi. Mulai dari gampang dihubungin, ngasih materi buat skripsi, ngasih dana penelitian, terus ada juga susah dihubungin, kalau janjian suka gak sesuai perjanjian, sampe yang perfectionist.

Diri sendiri, Ini faktor yang paling beranekaragam. Seperti apa kepribadian dan kemampuan diri sendiri pasti pengaruh banget. Ada orang yang tipenya deadliner, ada yang cepet ngerjain sesuatu, sampe yang perfectionist,

Faktor X, Sebenernya ini unsur yang paling susah dijelasin, tapi bakal dibahas secara umum aja. Faktor X ini maksudnya itu semua yang berkaitan sama skripsi selain diri sendiri dan dosen. Faktor x ini bisa jadi subjek penelitian kamu, bahan penelitian, alat buat ngerjain skripsinya sama dana buat penelitianya.

Kalau bisa digambarin, 3 unsur tersebut tuh bisa dibentuk jadi segitiga tapi setiap orang biasanya maksimal Cuma punya 2 unsur, bahkan ada juga yang 1 unsur. Nah perjuangan buat ngedapetin 3 unsur tersebut yang sebenernya jadi cerita. Begini skenarionya

Pertama,
Dapet Dosen yang asik, gampang ketemu, gampang dihubungin dan kebetulan kamu emang orangnya jago banget sama materi kuliah, terus tipe yang rajin kalau ngerjain sesuatu. Pasti berpikir skripsinya lancer nih kalau udah begitu, tapi pas faktor  x menghalangi jadi terhambat juga kan. Misalnya faktor x itu subjek penelitian kamu tuh susah banget perizinannya, atau laptop kamu gak bisa dipake lama-lama. Nah terhambat kan tuh skripsinya.

Kedua,
Kamu tipe orang yang rajin dan pinter nih kuliahnya, terus bahan-bahan penelitian kamu udah siap semua. Tapi kebetulan pembimbing kamu itu dosen yang super sibuk, kamu bakal kesusahan buat ngehubunginnya apalagi bikin janji. Percuma kan rajinnya kamu untuk sok ide ngerjain dulu, terus sok konsul sama dosen lain, eh tapi giliran ketemu dosen pembimbing sendiri malah gak disetujuin,  mau gimana? Terhambat juga tuh skripsi

Ketiga,
Pembimbing kamu itu dosen yang fleksibel, gampang dihubungin dan kalau bimbingan bisa dimana aja. Terus kebetulan kamu ambil materi penelitian yang gampang nih, alatnya gampang dicari, refrensinya gampang sampe subjeknya gampang tapi kamu sendirinya males, mau apa?. Dosennya udah baik nih ngasih jurnal sampe ngasih uang buat kepentingan penelitian kamu tapi kamunya malesan kan percuma. Nunggu malesnya ilang kayanya sih gak cukup waktu sebentar ya, jadi mau kapan tuh skripsinya selesai?

Nah itu gambaran singkat soal cerita si skripsi. Silahkan deh renungin dan pikirin mending punya unsur yang mana. Kalau udah ngerasain skripsi pasti gak akan bisa milih. Setuju ataupun engga itu hal kalian, ini cuma simpulan dari berbagai cerita teman dan pengalaman sendiri... 

John Locke // Sumber: https://fineartamerica.com/featured/2-john-locke-english-philosopher-father-science-source.html
Pernah mendengar pernyataan “manusia itu beda-beda” ? Menurut keilmuan itu hal yang tepat. Tidak ada satupun manusia di bumi ini yang sama, baik dari fisik ataupun psikisnya. Manusia yang terlahir kembar juga pasti akan memiliki perbedaan. Jadi,  apa sebenarnya yang membedakan manusia ? Salah satu filsuf yang membahas soal ini adalah John Locke.

John Locke dilahirkan pada 29 Agustus 1632 di Wrington Somerst. Seorang filsuf asal inggris ini terkenal dengan teorinya yang bernama Tabularasa. Tabularasa adalah suatu teori yang mengatakan bahwa seorang manusia terlahir sebagai kertas yang putih bersih. Menurut pemahaman tersebut semua pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil dari pengalaman inderawi.

Pengalaman inderawi meliputi penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan. Setiap individu mempunyai pengalaman inderawi maka kertas putih bersih tersebut seperti mendapat suatu perlakuan. Contohnya saat seorang anak mendengar sebuah nama disebut berulang kali yang ternyata itu adalah namanya, maka kertas putih bisa diumpamakan sedang dituliskan ‘nama saya…”. Istilah tersebut bisa dinamakan sebagai sebuah ide simpel.  Selanjutnya ide simpel tersebut akan terus berkembang menjadi ide majemuk dan akhirnya terbentuk ide kompleks.

Perbedaan pengalaman inderawi seperti contoh diatas yang akan membentuk perbedaan antar individu. Mungkin pada masa awal kehidupan akan memiliki pengalaman yang sama, maka dari itu anak kecil akan memiliki kesamaan yang cenderung lebih banyak satu sama lain. Semakin bertumbuhnya seorang manusia maka pengalaman inderawi yang dialami akan berbeda, maka perlakuan pada kertas putih itu juga akan berbeda. Perbedaan setiap perlakuan pada kertas putih tersebut yang akhirnya membentuk perilaku berbeda manusia.

Perumpamaan lebih lanjut yang bisa dipahami yaitu dalam hal pembelajaran. Pembelajaran hal hal dasar yang dilakukan diusia dini akan lebih gampang diterima oleh individu, karena kertas masih memiliki ruang yang cukup. Ketika dewasa kertas sudah cukup terisi sehingga perlu usaha lebih. Sebagai contoh saat individu masih kecil sudah diajari dasar tentang agama maka ketika beranjak remaja individu tersebut akan lebih mudah menerapkan ajaran agama yang diajarkan sewaktu kecil. Jika dianalogikan pada kertas, saat kecil seperti dibuatkan sebuah pola terlebih dahulu dan semakin dewasa pola tersebut akan dibuat menjadi sebuah gambar yang kompleks. Bayangkan saja jika sudah dewasa ingin membuat gambar yang kompleks pada kertas tapi belum memiliki pola maka diperlukan usaha lebih.

Kertas putih yang selalu diberikan sebuah catatan baik atau perlakuan baik maka kualitas kertas tersebut akan baik pastinya. Jika kertas dirawat baik, digambarkan dengan lukisan yang indah maka akan memiliki harga yang tinggi pastinya. Manusia yang dikatakan terlahir sebagai kertas putih bersih juga akan begitu. Semakin banyak perlakuan baik (pengalaman inderawi) maka kualitas perilakunya cenderung lebih baik.

Berdasarkan pemahaman mengenai tabularasa kita bisa mulai belajar mengapa manusia itu beragam jenisnya, baik sifat maupun perilakunya. Kemudian mulai mengerti apa yang membuatnya bisa seperti itu dan kita semakin sadar bahwa semua manusia itu bisa menjadi manusia yang baik. Pelajaran terpenting saat sudah tau keberagaman maka sudah saatnya mulai menerima keberagamaan tersebut.

sumber: Naisaban, Ladislaus (2004). Para Psikolog Terkemuka Dunia. Jakarta; PT Gramedia Widiasarana Indonesia
               Schultz, Duane P. & Sydney Ellen Schultz (2014). Sejarah Psikologi Modern. Bandung; Nusa Media